Wukuf di Arafah: Inti Ibadah Haji yang Tak Bisa Ditinggalkan

TVMU.TV - Di tengah terik gurun yang membakar, sekitar 20 kilometer dari kemegahan Masjidil Haram, terbentang sebuah lembah yang sederhana namun penuh nilai spiritual, Arafah. Tanah ini mungkin tak termasuk dalam kawasan Tanah Haram, tetapi di sinilah puncak dari seluruh perjalanan spiritual haji terjadi.
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam hadis riwayat Abu Dawud: "Saya pernah wukuf di Arafah sini, dan Arafah itu seluruhnya adalah maukif (tempat wukuf).” Ini menunjukkan bahwa seluruh area Arafah adalah tempat yang sah untuk melaksanakan wukuf." Kalimat singkat ini mengubah tanah gersang itu menjadi panggung agung di mana dosa-dosa diampuni, air mata tobat bercucuran, dan doa-doa melayang ke langit.
Di Arafah, tak ada tempat yang lebih mulia dari yang lain. Setiap jengkal tanahnya sah untuk wukuf—entah di tenda mewah, di bawah terik matahari, atau bahkan di pinggir jalan saat lalu lintas macet.
Wukuf di Arafah bukan sekadar ritual. Ia adalah jiwa dari haji itu sendiri. Ulama sepakat tanpa wukuf, haji batal. Waktunya singkat, dimulai saat matahari tergelincir (zawal) pada 9 Zulhijah, dan berakhir sebelum fajar menyingsing di 10 Zulhijah.
Bagi jamaah yang tiba tepat waktu, mereka akan berdiri di Arafah hingga maghrib, lalu berangkat ke Muzdalifah. Namun, bagi yang terjebak kemacetan atau masalah transportasi, masih ada kesempatan hingga detik-detik terakhir sebelum subuh.
“Haji itu adalah Arafah. Barangsiapa sempat datang sebelum salat subuh pada malam Jamak (malam keberangkatan ke Muzdalifah), maka hajinya sudah sempurna.” (HR. Ibn Majah, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ahmad).
Begitu matahari terbenam, lautan jamaah bergerak meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah—tempat mereka bermalam dan mengumpulkan batu untuk lempar jumrah. Salat Maghrib dan Isya digabung (jamak ta’khir) dan dipendekkan (qasar).
Bagi yang terjebak di Arafah karena transportasi, mereka boleh salat di sana terlebih dahulu. Tapi begitu kendaraan tersedia, mereka harus segera berangkat. Tak ada alasan untuk berlama-lama—karena setelah fajar, kesempatan wukuf pun tertutup.
Di lembah ini, jutaan manusia dari berbagai bangsa, warna kulit, dan bahasa berkumpul. Mereka berdiri bersama, menangis bersama, dan berharap pada rahmat yang sama.
Arafah mungkin hanya hamparan pasir di peta. Tapi bagi mereka yang pernah merasakannya, ia adalah tempat di mana jiwa-jiwa bertemu Tuhannya, di mana doa-doa terdengar paling dekat, dan di mana haji menemukan maknanya yang paling dalam.
Di sinilah, dalam kesederhanaan dan kepasrahan, seorang hamba benar-benar "berdiri" di hadapan Allah—bukan sekadar secara fisik, tapi dengan seluruh keberadaan dirinya.
Sumber:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Tuntunan Manasik Haji”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih XXVIII, 2015.
Comments (0)