Muhammadiyah-Aisyiyah Gelar Seminar dan Lokakarya Nasional, Bahas Kesehatan Jiwa Menurut Keagamaan

Muhammadiyah-Aisyiyah Gelar Seminar dan Lokakarya Nasional, Bahas Kesehatan Jiwa Menurut Keagamaan
SEMILOKNAS bertajuk

TVMU.TV - Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah dan MPKU PP Muhammadiyah bersama RSIJ Cempaka Putih menggelar Seminar dan Lokakarya Nasional (SEMILOKNAS) pada Rabu (3/8) kemarin, secara hybrid.

Acara yang bertajuk "Kebijakan dan Peran Serta Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendukung Terciptanya Kesehatan Jiwa Keluarga Indonesia dalam Mencerahkan Peradaban Bangsa" ini diselenggarakan secara luring di Aula AR Fachrudin lantai II Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka).

Kegiatan yang merupakan rangkaian acara menjelang Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah tersebut dihadiri Hamim Ilyas, Euis Sunart, Ely Risman Musa dan Era Catur Prasetya sebagai pemateri mengenai Kesehatan jiwa dari pandangan keagamaan Muhammadiyah, ketahanan keluarga, psikologi dan psikiatri.

Selain itu acara itu juga dihadiri oleh pimpinan, lembaga, majelis di Aisyiyah dan Muhammadiyah, serta organisasi otonom baik di tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten, dan kota serta organisasi kemasyarakatan di tingkat nasional. Selanjutnya, lokakarya ini juga diikuti aktivis Kesehatan jiwa dan para pakar kebijakan Kesehatan jiwa.

Dalam paparannya, Elisa Kurniadewi menyebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan seminar nasional dan lokakarya ini didukung oleh kepedulian Muhammadiyah bagi tantangan kesehatan jiwa di Indonesia. Riskesdas tahun 2018 menghasilkan prevalensi gangguan emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas meningkat 1,6 kali dari 6 persen menjadi 9,8 persen pada tahun 2013 hingga 2018.

“Begitu pun dalam kurun waktu yang sama, prevalensi gangguan jiwa berat meningkat 4 kali lipat dari 1,7 persen menjadi 7 persen. Bahkan data Aplikasi Keluarga Sehat tahun 2015 menghasilkan 15,8 persen keluarga mempunyai gangguan jiwa berat. Indonesia masih menghadapi masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif yang diduga menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 84,6 triliun (77,42 triliun rupiah digunakan untuk pengobatan pribadi dan 7,2 triliun digunakan untuk biaya sosial),” tuturnya.

Ia menambahkan, tingginya permasalahan kesehatan jiwa pun relevan dengan tantangan kekerasan domestik. Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2019, selama 12 tahun menunjukkan kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat. Begitu juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa meningkatnya prevalensi kasus kekerasan anak.

“Kasus yang tercatat pada tahun 2010 hingga 2017 sebanyak adalah 26.954 kasus. Mirisnya dalam kasus kekerasan anak yang berujung kematian, pelaku terbanyak adalah ibu kandung (44 persen), disusul oleh ayah dan ibu tiri (22 persen), ayah kandung (18 persen), pengasuh (8 persen), tante dan kerabat lain (8 persen). Begitu pun laporan OECD-PISA 2018 yang dirilis tahun 2019 menunjukkan bahwa 41 persen siswa di Indonesia pernah mengalami perundungan yang akan berdampak bagi mutu dan kesehatan jiwa bangsa dalam jangka panjang,” sambung Elisa.

Sementara itu, Euis Sunarti mengatakan bahwa secara khusus, Indonesia juga mengalami darurat penyimpangan seksual. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2012 menduga bahwa ada 1.095.970 LSL (lelaki sama lelaki) di Indonesia padahal tahun 2009 totalnya hanya 800 ribu jiwa dan kecenderungan ini semakin bertambah. Menurut Laporan LGBT Nasional Indonesia (2013) jumlah organisasi LGBT di Indonesia juga terus berkembang.

“Setidaknya ada 2 jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 dari 34 provinsi di Indonesia. Sebagian besar di antaranya produktif berperan di sektor kesehatan, media informasi, hiburan dan pelaksanaan kegiatan sosial serta pendidikan. Meningkatnya jaringan ini pun ditunjukkan dengan gencarnya kampanye gerakan ini di media. Data Drone Emprit pada bulan September hingga Oktober 2021 menunjukkan bahwa peningkatan pencarian informasi LSL di media sosial semakin meningkat,” jelasnya.

Dia juga menyebutkan beragam tantangan kesehatan jiwa ini tidak bisa tertanggulangi dengan baik lantaran ketidaksetaraan akses bagi layanan kesehatan jiwa. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 2017 menunjukkan bahwa Indonesia hanya mempunyai 48 RSJ dan 269-unit layanan kesehatan jiwa di RSU. Di sisi lain, tenaga pemberi layanan Kesehatan jiwa masih terbatas.

“Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hanya terdapat 600 hingga 800 psikiater di Indonesia yang di mana per orang harus melayani 300 ribu hingga 400 ribu pasien yang tersebar secara tidak merata. Begitu juga total tenaga psikologi klinis yang terjun langsung di sektor kesehatan dan rumah sakit hanya 1.143 orang pada tahun 2019. Hal ini jauh di bawah standar WHO yaitu per tenaga psikolog atau psikiater melayani 30 ribu orang,” sambungnya.

Adapun dalam sambutannya, Hamim Ilyas menyampaikan bahwa beragam masalah kesehatan jiwa perlu mendapat perhatian khusus dan harus diselesaikan oleh berbagai lini dengan program lintas sektor. Menurutnya, Muhammadiyah dan Aisyiyah mempunyai potensi dalam berkontribusi pada layanan kesehatan jiwa dengan kekuatan struktur ddimulai dari Provinsi hingga kelurahan atau desa, serta ratusan ribu Amal usaha kesehatan Muhammadiyah ‘Aisyiyah (AukesMA).

“Muhammadiyah mampu melaksanakan banyak hal termasuk di antaranya adalah mengedukasi masyarakat, membantu peningkatan layanan kesehatan jiwa, melakukan program promotif, preventif, kuratif ataupun rehabilitatif guna meningkatkan mutu hidup masyarakat serta ikut serta dalam proses advokasi kebijakan,” sebutnya.

VIDEO: RSIJ Pondok Kopi Siap Jadikan Rumah Sakit Pendidikan